Pengertian Penanaman Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), dan Joint Venture

Kedudukan Perusahaan Joint Venture dalam Penanaman Modal Asing, Pengertian Penanaman Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), dan Joint Venture

  1. Pengertian Penanaman Modal Asing (PMA)

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyatakan bahwa :

“Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.”

Menurut Salim H.S. dan Budi Sutrisno (2008: 39), banyaknya keuntungan yang didapat oleh Indonesia dari penanam modal asing membuat negara semakin tergantung dengan keberadaan penanam modal asing, terutama dalam hal pembangunan ekonomi Indonesia. Kelebihan penanaman modal asing atau Foreign Direct Investment (FDI) adalah :

  • Sifatnya permanen/jangka panjang;
  • Memberi andil dalam alih teknologi;
  • Memberi andil dalam alih ketrampilan; dan
  • Membuka lapangan kerja baru
  1. Pengertian Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyatakan bahwa :

“Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.”

Yang dimaksud dengan modal dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia, perseorangan warga negara Indonesia, atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum.

  1. Pengertian Joint Venture

Pengertian joint venture ini tidak secara tegas diatur dalam undang-undang, namun secara eksplisit dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomol 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menyatakan bahwa “Penanaman modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas.”

Joint venture adalah suatu bentuk yang telah berkembang pesat dan luas. Perusahaan ini adalah suatu upaya dari suatu kegiatan komersial oleh dua atau lebih pihak melalui suatu lembaga atau organisasi untuk mencapai suatu tujuan bersama. Sunarayati Hartono (1974: 6) mengemukakan batasan joint venture adalah :

“Setiap usaha bersama antara modal Indonesia dan modal asing , baik ia merupakan usaha bersama antara swasta dan swasta, pemerintah dan swasta, ataupun pemerintah dan pemerintah. Juga tidak dibedakan apakah joint venture itu dianggap sebagai penanaman modal asing ataupun penanaman modal dalam negeri.”

  1. Bentuk Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)

Pada Bab IV Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menjelaskan mengenai bentuk badan usaha dan kedudukan penanaman modal. Penanaman Modal Asing (PMA) wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia. Hal ini terdapat ketentuan yang berbeda dengan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang menyatakan bahwa Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan.

Penanaman Modal Asing (PMA) wajib dalam bentuk perseroan terbatas (PT) karena merupakan salah satu upaya pemerintah dalam memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan Penanaman Modal Asing (PMA). Instrumen kepastian hukum yang diberikan dalam PT sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, meliputi (http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50759704ac972/mengapa-penanaman-modal-asing-harus-dalam-bentuk-pt) :

  1. Anggaran Dasar

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, jenis dan kegiatan usaha serta tata cara pelaksanaan kegiatan PT diatur dalam anggaran dasar yang dibuat dalam akta notarial dan harus didaftarkan serta disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (“Kemenkumham”).

Setiap perubahan anggaran dasar juga harus diberitahukan kepada Kemenkumham dan mendapatkan persetujuan dari Kemenkumham. Melalui mekanisme ini, memperlihatkan bahwa adanya kepastian hukum terhadap setiap tindakan dan kegiatan usaha PT harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan anggaran dasar. Hal-hal tersebut tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan nama orang perorangan saja seperti pada badan usaha yang tidak berbadan hukum.

  1. Pengalokasian Modal

Satu hal yang paling krusial dalam pelaksanaan PMA adalah pengalokasian modal dan penggunaannya dalam menjalankan tujuan kegiatan usaha. Dalam PT penggunaan modal untuk kegiatan usaha hanya dapat digunakan dengan persetujuan perseroan yang ditempuh dengan mekanisme dan kesepakatan para pemegang saham yang dituangkan dalam anggaran dasar.

Sehingga setiap tindakan dalam PT merupakan tindakan atas nama perseroan dan tidak bisa dilakukan hanya dengan persetujuan orang perorangan semata. Berbeda halnya dengan badan usaha yang tidak berbentuk badan hukum yang dalam menjalankan tindakannya dapat bertindak dan bertanggung jawab atas nama orang perorangan tanpa persetujuan dari para pendiri badan usaha tersebut. Tentunya jika hal ini terjadi pada PMA, maka bentuk badan usaha tersebut tidak memberikan kepastian hukum terhadap modal yang ditanamkan oleh pihak asing.

Demikian pula, bentuk penyertaan modal asing dalam suatu PT yang dapat dibuktikan dengan saham. Berbeda halnya dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum, kepemilikan para pendiri tidak dapat diwujudkan dalam bentuk saham melainkan hanya kekayaan perseroan semata yang diatur oleh para pendiri sendiri.

Pengalokasian modal dengan bentuk saham ini memiliki maksud dan tujuan yang di antaranya menentukan: (i) besar suara dalam pengambilan keputusan terhadap tindakan perseroan dan (ii) menentukan besar dividen dan/atau kerugian (tanggung jawab) yang akan diterima/diderita atas kegiatan usaha perseroan.

  1. Tanggung jawab yang terbatas

Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa “Para pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas tindakan PT dan perikatan yang dilakukan oleh PT melebihi dari saham yang dimiliki oleh masing-masing pemegang saham”. Berdasarkan ketentuan di atas, kami memahami bahwa besar tanggung jawab pemegang saham dalam PT hanya sebatas pada besar saham yang dimiliki dan tidak dapat mencakup kekayaan pribadi dari pemegang saham.

Di dalam PT terdapat pemisahan kekayaan pribadi pemegang saham dengan PT itu sendiri. Berbeda halnya dengan badan usaha yang tidak berbentuk badan hukum, dalam pemenuhan tanggung jawab oleh para pendiri tidak dibatasi berdasarkan besar kekayaan yang ditanamkan dalam badan usaha, tetapi dapat mencakup kekayaan pribadi dari para pendiri tersebut.

  1. Organ Perseroan

PT dalam menjalankan kegiatan usahanya dijalankan oleh organ perseroan yang terdiri dari:

  • Rapat Umum Pemegang Saham;
  • Dewan Komisaris; dan

Dari ketiga organ perseroan di atas, masing-masing organ memiliki kapasitas dan kewajiban masing-masing dalam menjalankan kegiatan usaha perseroan yag dituangkan dalam anggaran dasar dan/atau Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Berbeda halnya dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum yang dalam menjalankan kegiatan usahanya hanya dijalankan oleh paling sedikit 2 (dua) orang dan pengambilan keputusan dapat dilakukan langsung oleh pesero/sekutu aktif dalam badan usaha non-badan hukum tersebut.

  1. Terjadinya Perusahaan Joint Venture

Awal masuknya investasi ke Indonesia dimulai pada masa setelah kemerdekaan Indonesia ditandai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Dengan diundangkannya undang-undang tersebut memberikan kesempatan kepada pemodal asing dan domestik untuk menanamkan modal di Indonesia.

Setelah era reformasi, lahirlah Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sebagai babak baru penanaman modal di Indonesia. Pengaturan mengenai pembentukan perusahaan joint venture tidak secara tegas diatur dalam undang-undang, namun secara eksplisit dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menyatakan bahwa “Penanaman modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas.”

Dalam perkembangannya joint venture dikaitkan dengan kemampuan modal nasional yang sudah dapat melakukan usaha kerja sama dengan penanaman modal asing melalui bentuk penanaman modal asing secara langsung di Indonesia. Faktor yang menyebabkan dipilihnya joint venture oleh pemilik modal asing yang sebagian besar merupakan suatu perusahaan Transnational atau Multinational Corporation yaitu di karenakan atas kekhawatiran oleh pemilik modal asing tersebut, yakni terhadap adanya pengambilalihan secara sewenang-wenang tanpa melalui suatu prosedur hukum oleh negara penerima modal atau yang lebih popoler dikatakan dengan nasionalisasi (Huala Adolf, 2007: 50).

Keberadaan perusahaan joint venture dalam penanaman modal asing, mempunyai arti dan manfaat yang sangat besar bagi penanam modal dalam negeri atau nasional maupun penanaman modal asing yakni (Salim H.S. dan Budi Sutrisno, 2008: 39) :

  1. Pembatasan resiko dimana dalam melakukan suatu kegiatan sudah barang pasti penuh resiko. Dengan membentuk kerja sama maka resiko tersebut dapat disebarkan kepada peserta-peserta; dan
  2. Pembiayaan, dimana kerja sama usaha mendayagunakan modal dapat dilakukan dengan sederhana dengan menyatukan modal yang dibutuhkan.

Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa keharusan penanaman modal asing melakukan joint venture dilakukan dengan pertimbangan bahwa (Suparji, 2008: 71-72) :

  1. Untuk peningkatan modal, dimana peningkatan modal dapat diharapkan melalui bentuk modal kerja ataupun modal investasi untuk mesin-mesin, peralatan-peralatan spareparts dan lain-lain. Alasan ini dikarenakan bentuk joint venture adalah jenis usaha baru, jadi membawa modal baik yang berbentuk sebuah modal kerja maupun modal investasi.
  2. Berkaitan mengenai keahlian dan pengalaman di bidang processing dari barang-barang yang oleh penanaman modal dalam negeri yang selama ini hanya dikenal sebagai barang jadi. Sehingga para pengusaha nasional dapat mempertahankan fungsi dagang dan pada akhir diharapkan mengambil alih fungsi-fungsi tenologis dari pihak investor asing pada suatu waktu tertentu.
  3. Dengan joint venture penanaman modal asing dapat ikut serta dalam usaha mendapatkan saluran-saluran distribusi di daerah-daerah dimana jaringan-jaringan distribusi yang selama ini dikuasai oleh penanaman modal nasional yang telah ada tidak dapat ditembus.
  4. Perusahaan asing tersebut berusaha untuk menjaga hubungan yang baik dengan pemerintah setempat. Oleh karena itu pemerintah setempat dapat membantu dengan memberikan kemudahan dalam usaha dan tidak menghambat berbagai proyek perusahaan. Kesempatan tersebut didukung dengan adanya kenyataan bahwa perusahaan lokal memiliki kelebihan untuk bisa mengatasi hambatan-hambatan dalam birokrasi dan lebih jauh dapat mempengaruhi birokrasi sesuai dengan tujuan atau kepentingan perusahaannya.

Tinggalkan komentar